Memuat...
11 February 2015 21:40

Cerita Calon BMI di Penampungan Lewat Pantau PJTKI

Indonesia adalah pengirim tenaga kerja ke luar negeri yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Pemerintah membanggakan jumlah devisa yang masuk setiap bulan dan tahun yang menempati urutan kedua setelah sumber daya alam. Selama ini pemerintah selalu membahas soal penempatan, tetapi untuk urusan pembekalan dan perlindungan masih memprihatinkan.

Pertengahan tahun 2014, saya dan 4 kawan lain di Hong Kong melakukan survey terhadap BMI yang belum genap dua tahun bekerja di Hong Kong. Survei ini bernama PANTAU PJTKI, yang beralamat di http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/. Website ini dibuat oleh pegiat Pusat Sumber Daya Buruh Migran, Infest, Yogyakarta.

Survei dilakukan untuk memberi penilaian terhadap PJTKI yang memberangkat BMI ke Hong Kong. Kami mendengar cerita mereka mengenai kondisi penampungan seperti tempat tidur, kamar mandi, makanan, pembekalan selama di penampungan, pelayanan staf PJTKI dan lainnya.

Kami melakukan survei kurang lebih dua bulan dengan kuesioner sebanyak 250 lebih BMI dengan masa kerja di Hong Kong antara tahun 2012-2014. Banyak juga kuosioner yang masih potong gaji dan baru pertama kali bekerja di luar negeri.

Rata-rata mereka takut mengungkap kondisi penampungan meski kami sering meyakinkan ke mereka untuk tidak usah takut karena survei ini akan sangat membantu calon BMI yang akan mendaftar ke PJTKI saat akan bekerja ke luar negeri, apalagi mereka yang masih potongan gaji.

Tetapi ada juga kuosioner yang begitu semangat membongkar keburukan PJTKI yang pernah memberangkatkannya. Mereka cerita soal staf PJTKI yang galak, makanan kurang, kondisi kamar mandi tidak memadai, kumuh, kapasitas penampunggan terlalu berlebihan dan pungutan liar yang harus mereka bayar.

Seperti ulasan untuk PT. HENDRARTA ARGA RAYA, dimana ada BMI yang belum selesai kontrak 2 tahun mencari majikan baru harus membayar HK$2500 ke pemilik PJTKI meskipun dia sudah selesai membayar potongan ke agen. Banyak kuesioner yang mengeluhkan lamanya menunggu di PJTKI dan kurangnya pembekalan bahasa Kantonis. Mereka juga menilai kalau rata-rata PJTKI lepas tangan saat potongan gaji sudah selesai.

Di sisi lain, ternyata hampir semua PJTKI tidak memberi penjelasan detail mengenai isi kontrak kerja di Hong Kong dan hak apa saja yang didapatkan BMI saat diinterminit majikan. Pun juga soal hari libur di luar hari Minggu seperti public holiday sebanyak 12 hari selama setahun yang kalau pekerja tidak libur makan majikan wajib mengganti dengan uang atau hari yang lain.

Rata-rata PJTKI selalu menekankan ke calon BMI bahwa bekerja di luar negeri harus mengikuti kata-kata majikan dan agen, kalau ada apa-apa harus menelepon ke agen. Banyak juga dari dari kuesioner yang tidak tahu alamat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan nomor penting seperti nomor polisi di 999.

Jika menyimak penuturan buruh migran yang ada dalam survei, PTJKI hanya memikirkan keuntungan secepatnya tanpa memikirkan perlindungan bagi BMI yang mereka berangkatkan. Sampai saat ini saya sendiri masih tidak tahu kenapa proses pembekalan harus diserahkan ke pihak swasta, padahal pemerintah punya BLK di setiap kabupaten. Kenapa tidak dimanfaatkan?

Para tenaga kerja kita masih banyak yang dipandang remeh, dinilai bodoh dan selalu dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain. Lagi-lagi persoalan keterampilan yang dijadikan alasan. Para buruh migran dari Indonesia memang dikenal dengan sabarnya, telatennya, menurut dengan segala perintah, tidak suka membantah dan selalu nerimo dengan keadaan.

Kalau pemerintah belum mampu membuka lapangan kerja, seharusnya pemerintah harus meningkatkan perlindungan terhadap semua WNI yang bekerja di luar negeri. Memaksimalkan kantor perwakilan di luar negeri agar mudah di akses oleh BMI. Buka pintu selebar-lebarnya agar buruh migran ikut dilibatkan saat mengambil kebijakan, karena bagaimana pun kebijakan yang dibuat adalah untuk buruh migran.

Ayo ikutan survei di Pantau PJTKI http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/

Komentar

Tidak ditemukan hasil.